Youtube sebagai Media Dokumentasi Pribadi

Share

Sambil makan malam barusan, anak-anak saya menonton video di Youtube tentang jalan-jalan kami ke kebun binatang Ragunan lebih dari 2 tahun yang lalu, tepatnya 4 November 2018. Radya dan Saira sangat antusias, khususnya Saira yang saat di video itu bahkan belum berusia 1 tahun. Menonton video dokumentasi saat masa kecil terasa menarik dan meningkatkan engagement pada anak-anak.

Baca Juga: Digital Parenting

Memang di rentang 2017-2019 saya relatif masih rajin untuk mendokumentasikan kegiatan keluarga dan mengeditnya ke sebuah video yang utuh. Dari beberapa potongan video mentah yang kami rekam melalui HP, kamera, ataupun dashcam, saya biasanya edit menjadi sekitar 10-15 menit, jika lebih panjang dari itu akan saya bagi dalam beberapa bagian. Format video saya buat hanya sebatas 720p agar tidak terlalu berat.

Hasil video tersebut biasanya saya upload ke Youtube dengan status private video atau unlisted karena memang hanya ditujukan untuk dokumentasi pribadi. Sewaktu-waktu, jika ingin dilihat bisa dengan mudah saya buka akun Youtube saya, tidak perlu buka laptop ataupun cari-cari di Hardisk eksternal, bisa dengan mudah dibuka dengan gadget apapun. Seperti malam ini.

Mengenai dokumentasi, dokumentasi dalam bentuk video tentu saja lebih menyimpan informasi dan kenangan daripada sekedar foto, karena ada suara, gerakan, dan sebagainya. Dulu orang tua saya menyimpan dokumentasi saya saat kecil dengan mencetak foto dan disimpan di dalam album, sampai sekarang masih tersimpan dengan baik walaupun ada beberapa foto yang agak rusak termakan usia.

PR yang paling besar untuk dokumentasi saat ini adalah mengkurasi konten foto maupun video yang sudah terekam. Kalau dulu swaktu saya kecil masih menggunakan roll film isi maksimum 36, setiap potretan kamera benar-benar disiapkan untuk momen terbaik. Sehingga dari 36 foto yang dihasilkan, mungkin tidak sampai 5 foto yang tidak kepakai karena tidak layak (blur, salah pencet, tidak proporsional, dll).

Sekarang, dengan kemudahan dokumentasi dengan kamera digital ataupun HP, banyak sekali foto atau video yang kita ambil, yang tentu saja tidak semuanya layak disimpan. Untuk video, seperti yang dulu saya lakukan, akan lebih baik disimpan dalam bentuk yang sudah diedit agar membentuk konteks dan alur cerita momen hidup yang utuh. Untuk foto pun sebaiknya dihapus untuk yang tidak layak, dan hanya menyisakan yang benar-benar memberi nilai bagi kita.

Namun justru ini lah bagian yang paling sulit. Seperti halnya film Jacky Chan, di akhir film pasti diputar adegan-adegan gagal yang justru menarik untuk dikenang, istilahnya “dibuang sayang”. Hanya saja, karena banyak sekali jumlah file foto dan video yang ada, ini memberikan potensi foto dan video yang ada hanya menjadi gudang tidak jelas. Penuh, padat, sulit dicari, dan kurang bermakna.

Saat ini pun saya masih banyak PR stok video mentah dokumentasi kegiatan yang belum saya edit. Mungkin saya coba cicil minimal ada 1-2 video kegiatan yang diedit tiap bulannya untuk diuploadi di Youtube, sebelum semakin banyak dan hanya berakhir tergelatak begitu saja di hardisk.

Bagikan tulisan ini:

mozuqi

Mohammad Zulkifli Falaqi. Biasa dipanggil Zul. Saat ini sedang mencari sesuap nasi di ibukota sebagai buruh yang ngurusin organisasi dan SDM di perusahaan yang bergerak di bidang energi. Menulis apa saja yang terlintas di pikiran.

You may also like...

Leave a Reply