Monkey business adalah salah satu cara yang dianggap kotor dalam bisnis untuk meraup keuntungan. Modusnya adalah memanipulasi harga suatu hal (bisa apapun, baik komoditas fisik maupun non-fisik) agar naik jauh melebihi nilai intrinsiknya. Ketika harga sedang di puncak dan berhasil menjualnya, si pelaku meninggalkan pasar tersebut dengan keuntungan dari selisih harga yang melangit tersebut.
Monkey business dimulai dari seorang pelaku yang memposisikan diri sebagai pembeli sebuah komoditi di harga lebih tinggi di atas pasaran normal. Pasar tentu menyambut gembira permintaan tersebut, lalu penjual (ataupun disusupi juga oleh penjual yang sudah berkomplot) akan mulai mencari supply baru berdasarkan permintaan tersebut. Si pembeli yang awal-awal tersebut menjual lagi ke penjual belakangan dengan harga lebih tinggi, dan seterusnya.
Siklus ini bisa berjalan beberapa kali putaran dengan terus dikompori oleh para pelaku sampai dengan pasar benar-benar jenuh. Jika sudah mendekati titik jenuh atau keuntungan sudah dirasa lumayan cukup, para pelaku menjual seluruh sisa komoditi yang dimiliki di harga terakhir (puncak) dan berhenti mengompori. Alhasil, tren terhadap komoditas tersebut bisa menghilang dan ujung-ujungnya harga berangsur (atau anjlok) terkoreksi mendekati harga normal.
Beberapa kasus yang sering menjadi contoh monkey business di Indonesia adalah batu akik, tokek, beberapa jenis tumbuhan “langka”, atau sepeda lipat. Kalau memang memiliki hobi atau perspektif pribadi yang menganggap barang-barang tersebut bernilai sih tidak masalah. Bahkan harga berapapun tidak masalah jika sudah menjadi hobi. Yang jadi masalah, banyak yang beli di harga tinggi dan menduga ke depannya masih banyak yang berminat beli dan harganya terus naik, tapi ternyata zonk. Secara umum, yang sering dijadikan objek monkey business adalah barang seni, barang hobi, atau yang berkaitan dengan “kepercayaan” yang memang nilainya bisa sangat subjektif, emosional, dan irasional.
Agar terhindar dari monkey business, apalagi terjebak menjadi korban yang membeli di puncak, kita harus punya filter pribadi, tidak hanya sekedar ikut-ikutan orang lain. Filter pribadi tersebut adalah kita sendiri sudah yakin dengan value yang kita dapatkan dengan membeli di suatu harga tertentu. Ekstrimnya tidak ada yang beli lagi pun, kita tidak masalah karena sudah puas dengan value yang diterima dari apa yang kita beli tersebut. Dan jika memang niat mencari margin, kita harus benar-benar yakin PASTI ada orang yang akan beli di harga yang lebih tinggi atau minimal sama, yang kita bisa lihat dari karakteristik pasar, kegunaan barang yang dibeli, atau dari aspek regulasi (seperti kasus shortsell Gamestop di AS).