Sampai dengan hari ini saya belum tertarik untuk melakukan investasi emas. Pertimbangan utamanya adalah saya belum yakin bagaimana emas dapat menjadi instrumen investasi yang tepat untuk saya.
Berikut penjelasan 6 aspek utama yang menjadi pertimbangan saya belum melakukan investasi di instrumen emas:
1. Manfaat Riil Emas
Fungsi utama emas yang saya amati paling banyak adalah sebagai logam mulia “pajangan”, apakah itu berbentuk perhiasan gelang, emas, cincin, ataupun perhiasan lainnya, bisa juga sebagai bahan untuk plakat, atau bahkan emas berbentuk batangan yang langsung menjadi souvenir/cinderamata eksklusif. Memang secara fisik emas itu bagus, tapi itu kembali ke selera dan persepsi masing-masing orang.
Manfaat lainnya adalah emas dapat digunakan sebagai konduktor di sirkuit elektronik, namun banyak logam lainnya yang lebih murah yang juga biasa digunakan di sirkuit elektronik, seperti perak atau tembaga. Di bidang kesehatan, mungkin emas digunakan sebagai bahan gigi palsu/penambal gigi. Dari pandangan saya, sejauh ini saya belum menemukan manfaat riil emas yang sepadan dengan harganya.
2. Fluktuasi Harga Emas
Jika kita lihat dalam 15 terakhir, harga emas di Desember 2005 di sekitar Rp 160.000,- / gram dan saat ini di Desember 2020 sekitar Rp 860.0000 / gram (sumber: Goldprice.org). Harga emas memang cenderung naik signifikan, itu betul. Namun juga di antara periode tersebut, tentunya ada harga turun juga. Intinya tidak setiap waktu emas akan naik. Yang selalu digembar-gemborkan adlah contoh kasus ketika ada orang yang beli dan jual di saat yang tepat sehingga mendapatkan kenaikan harga yang bagus, namun misal kita beli emas di September 2012 dan jual di Juni 2013 tentunya rugi kan karena harga turun?
Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana harga emas bisa naik dan turun? Tentunya prinsip dasar ekonomi untuk terbentuknya harga adalah Supply dan Demand.
Dari sisi supply, saya belum memahami produksi atau potensi produksi emas itu sebesar apa. Apakah misal Freeport dan Antam itu sudah optimal dalam menghasilkan emas, atau apakah masih ada titik-titik potensi tambang emas yang masih ada dan belum tergarap? Jika ternyata tiba-tiba ditemukan cadangan emas yang besar tentunya harga emas bisa jadi turun, seperti halnya harga minyak pernah turun tajam karena ditemukannya shale gas (sumber).
Dari sisi demand, permintaan akan naik-turun tergantung kebutuhan konsumen/masyarakat. Ini kembali lagi ke poin 1 di atas, apa manfaat riil dari emas? Manfaat sebagai “pajangan” hanyalah kebutuhan tersier dari masyarakat. Tanpa emas pun masyarakat bisa hidup dengan baik. Bahkan lebih baik ga punya emas dari pada ngga punya HP dan jaringan internet. Yang saya amati, salah satu yang memicu kenaikan permintaan emas adalah kelompok masyarakat yang menganggap emas adalah investasi. Namun, tanpa ada manfaat yang riil, kenaikan permintaan akan emas tersebut tidak ada bedanya dengan saham gorengan ataupun bubble properti yang meledak karena permintaan/harga terus naik padahal tidak ada fundamental yang baik di dalamnya dan sudah tidak sebanding dengan nilai/manfaat riilnya.
Jika kenaikan emas dalam 15 tahun ini menjadi alasan emas adalah instrumen investasi yang bagus, saya pribadi pun bisa mengatakan saham BBCA pun merupakan investasi yang bagus karena memiliki fluktuasi yang serupa dalam 15 tahun terakhir Naik signifikan dari Rp 1.700,- ke Rp 33,000,- dan tentunya di periode itu ada naik-turun. Banyak orang yang berhasil menikmati keuntungan dari investasi di BBCA (walau banyak juga yang boncos). Terlebih untuk saham, bisa kita analisis lebih dalam lagi komponen yang menyebabkan harga saham berfluktuasi, karena ada bisnis riil di dalamnya.
3. Penyimpanan
Jika memilih emas sebagai instrumen investasi, bisa dalam 3 bentuk: perhiasan emas, emas batangan yang dipegang fisik, atau “emas batangan” online. Untuk bentuk “emas batangan” online memang tidak perlu memikirkan penyimpanan, karena disimpan secara jarak jauh di penjual/penyedia jasa, namun bentuk investasi “emas batangan” online ini masih banyak perbedaan pendapat terutama dari sisi syariah karena emas tidak dipegang pemilik secara fisik dan dijual dalam pecahan yang sangat kecil (misal 0,001 gram) yang secara aktual tidak ada emas batangan seberat itu (jika dicetak minimal harus 0,5 atau 1 gram).
Untuk bentuk perhiasan emas dan emas batangan yang dipegang fisik, saya merasa kesulitan untuk menyimpannya. Berbeda dengan emas yang diniatkan untuk dipakai atau misal mas kawin, yang ukuran dan jumlahnya cukup sederhana, jika diniatkan untuk investasi harapannya semakin lama akan semakin banyak, dan ini akan menjadi PR yang cukup memusingkan. Apalagi saya tidak berdomisili tetap, bisa berpindah-pindah antar kota. Cara paling ideal adalah dengan sewa safe deposit box, konsekuensinya keluar biaya lagi.
4. Memastikan Keaslian
Saya tidak mempunyai keahlian di bidang metalurgi ataupun material sehingga saya tidak bisa membedakan mana emas asli mana emas palsu (kecuali ekstrem misal bahannya plastik ataupun permen coklat koin emas). Kalaupun asli emas, saya ragu apakah karat atau beratnnya sudah sesuai. Memang ada sertifikat, namun malah jadi seolah-olah sertifikatnya itu yang bernilai. Keaslian ini menjadi sangat krusial karena saya tidak merasakan manfaat riil dari emas (seperti dijelaskan poin 1).
5. Perbedaan Harga Beli dan Harga Jual
Mekanisme jual-beli emas di penyedia jasa emas adalah seperti di counter HP bekas. Ada harga jual dan ada harga beli yang berbeda. Untuk barang yang sama, jika kita menjual ke penyedia jasa, tentu harganya lebih lebih rendah daripada kita membeli dari penyedia jasa tersebut. Jadi selain fluktuasi harga yang bisa berubah dari waktu ke waktu, terdapat juga perbedaan harga apabilan kita membeli dan menjual lagi di waktu yang sama.
Sebagai contoh, harga jual emas per hari ini di Pegadaian adalah Rp 911.000,-/ gram, dan harga beli d Rp 883.000,-/ gram. Selisih antara harga beli dan harga jual adalah Rp 28.000,- / gram atau sekitar 3% jika dibandingkan pada saat kita membeli (mengeluarkan uang). Artinya, bila harga emas naik 3% dari sejak kita beli, kita belum ada untung sama sekali, karena kalau kita jual kita akan dibayar di harga beli yang masih sama dengan harga saat kita beli emas tersebut. Kita baru akan mendapatkan untung jika persentase kenaikan harga emas di atas persentase selisih harga jual dan harga beli di penyedia jasa.
6. Likuditas Investasi
Cara paling mudah untuk mencairkan emas adalah dengan menjualnya ke penyedia jasa, dengan konsekuensi ada selisih harga jual dan harga beli seperti yang dijelaskan di poin 5 di atas. Alternatif lainnya adalah kita menjual ke konsumen langsung.
Ibarat kita menjual HP bekas, misal pasaran harga bekas tipe HP bekas kita adalah Rp 5 juta, jika kita jual ke counter HP bekas, paling dihargai Rp 3-4 juta, karena counter HP perlu mendapatkan margin jika jual ke konsumen akhir di harga pasaran Rp 5 juta. Jika kita bisa menjual ke konsumen langsung, mungkin kita bisa menjual di harga Rp 4,5 juta atau bahkan di Rp 5 juta sesuai harga pasaran HP bekas tipe tersebut.
Yang jadi masalah, bagaimana menemukan konsumen akhir untuk menjual emas di harga yang bagus bagi kita? Tentu itu butuh effort dan waktu yang tidak sedikit. Saya sendiri kurang PD bila harus menawarkan emas, karena saya pun belum yakin dengan manfaat riil barang yang saya jual tersebut sebagaimana penjelasan di poin 1.
– –
Enam aspek di atas merupakan opini saya yang membuat saya berkesimpulan emas belum menjadi instrumen investasi yang cocok untuk saya saat ini. Jika ada pembaca yang punya pendapat lain, monggo dapat disampaikan di komentar agar dapat menjadi wawasan baru di dunia investasi khususnya di instrumen emas ini.
1 Response
[…] yang bagus. Mengapa? Mungkin kurang-lebihnya mirip dengan cara pandang saya terhadap emas (baca: Investasi Emas), hanya saja cryptocurrency tidak memiliki bentuk […]